Khutbah Jumat:
Mendaki Ridla Allah dari Syaban Menuju Ramadhan Karim
Marilah kita bersama-sama meningkatkan takwa kita kepada
Allah SWT dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya dengan penuh kesadaran dan keinsafan.
Karena hanya dengan bertakwa jalan kita mendekati Allah
subhanahu wata’ala mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat,
seperti yang difirmankan Allah dalam Yunus 63-64:
اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَۗ (٦٣) لَهُمُ
الْبُشْرٰى فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَفِى الْاٰخِرَةِۗ لَا تَبْدِيْلَ لِكَلِمٰتِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ هُوَ
الْفَوْزُ الْعَظِيْمُۗ (٦٤)
Artinya: "(Yaitu) orang-orang yang beriman dan
senantiasa bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan
di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah
kemenangan yang agung.”
Hadirin kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah,
Rasya syukur alhamdulillah kita panjatkan ke hadirat Allah
yang Mahakuasa, karena hari ini kita semua masih menikmati indahnya bulan
Sya'ban.
Sya'ban adalah bulan kedelapan dalam penanggalan hijriah.
Secara bahasa kata "sya'ban" mempunyai arti "berkelompok".
Nama ini disesuaikan dengan tradisi bangsa Arab yang berkelompok mencari nafkah
pada bulan itu).
Sya'ban termasuk bulan yang dimuliakan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam selain bulan yang empat, yaitu Dzulqa'dah,
Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Salah satu cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam memuliakan Syaban adalah beliau banyak berpuasa pada bulan ini.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'i dan Abu Dawud
dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah menyatakan, Usamah berkata pada Rasululllah
shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Wahai Rasulullah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa
(sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban.”
Rasul menjawab: “Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan
Ramadhan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.”
عن
أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
”Usamah bin Zaid berkata, ‘Wahai Rasululllah aku tidak
pernah melihat engkau berpuasa sebagaimana engkau berpuasa pada bulan Sya’ban.
Nabi membalas, “
Bulan Sya'ban adalah bulan yang biasa dilupakan orang,
karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadan.
Bulan Sya’ban adalah bulan diangkatnya amal-amal. Karenanya,
aku menginginkan pada saat diangkatnya amalku, aku dalam keadaan sedang
berpuasa.” (HR Nasa'i)
Hadirin, Oleh karena itu, marilah di awal-awal bulan Sya'ban
ini kita perkokoh keimanan dan ketakwaan kita. Mumpung masih ada waktu, mumpung
ada bulan Sya'ban yang penuh dengan keutamaan dan keistimewaan.
Kata “sya’ban” juga berasal dari kata syi'ab bisa dimaknai
sebagai jalan setapak menuju puncak. Artinya bulan Sya'ban adalah bulan
persiapan yang disediakan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada hamba-Nya untuk
menapaki dan menjelajahi keimanannya sebagai persiapan menghadapi puncak bulan
Ramadhan.
Meniti perjalanan menuju puncak bukanlah hal yang mudah.
Minimal memerlukan persiapan-persiapan yang terkadang sangat melelahkan dan menguras
energi. Ingatlah pekerjaan mendaki gunung yang mengharuskan berbagai macam
pelatihan. Begitu pula meniti langkah menuju puncak selama bulan Sya'ban,
tentunya pendakian itu mengharuskan kesungguhan hati dan niat yang suci.
Mendaki adalah usaha menuju yang lebih tinggi yang harus
dilalui dengan susah dan payah. Kepayahan itu akan terasa ketika kita memilih
berpuasa di bulan Sya'ban sebagai bentuk pendakian menuju puncak, persiapan
menyambut bulan suci Ramadhan.
Ma'asyiral mu'minin rahimakumullah,
Pendakian menuju puncak di bulan Sya'ban ini juga dapat
dilakukan dengan cara banyak beristigfar dan meminta ampun atas segala dosa
yang telah kita lakukan di bulan-bulan sebelumnya. Baik dosa yang kasat mata
maupun dosa yang adanya di dalam hati dan tidak kasat mata, dan justru dosa
terakhir inilah yang terkadang lebih menumpuk di bandingkan dosa kelakukan.
Ujub, riya’ (pamer agar dilihat orang lain), sum'ah (pamer agar didengar orang
lain), takabur, dan lain sebagainya:
Coba kita dalami an-Nahl ayat 78:
وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur.”
Bukankah ayat tersebut seolah mewajibkan manusia agar selalu
insaf dan sadar bahwa berbagai anugerah kita di dunia ini—jabatan, kekuatan,
kekayaan, kegagahan, kepandaian dan semuanya—adalah pemberian Allah subhanahu
wata’ala, dan manusia pada awalnya tidak mengerti suatu apa pun. Karenanya, jikalau sampai terbersit dalam
hati kita sebagai manusia akan kepemilikan dan ke-aku-an, sadarlah bahwa itu
adalah kesombongan dan ketakaburan.
Apalagi jikalau perasaan itu disertai dengan kesengajaan
menafikan Allah subhanahu wata’ala maka segeralah bertobat.
Allah sendiri mengancam orang-orang seperti ini dalam Surat
Thaha ayat 124:
وَمَنْ
أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka
sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya
pada hari kiamat dalam keadaan buta."
Dengan demikian, ma'asyiral Muslimin, wajiblah setiap
manusia itu selalu bersujud dan berbakti kepada Allah subhanahu wata’ala setiap
saat, setiap waktu.
Semakin berpangkat, semakin pandai, semakin kaya, semakin
berada, maka sujudnya harus semakin dalam dan penuh makna.
Sebagai penghujung khutbah ini, marilah di waktu yang
istimewa ini di bulan Sy'aban yang penuh fadhilah ini, kita mendaki bersama
dengan menjalankan berbagai amal shaleh dan meminta pengampunan atau
maghfirah-Nya, sehingga kita akan sampai di puncak nanti sebagai insan yang siap
menjalankan keinsaniahannya di depan Sang Khaliq
اللهُمَّ رَبُّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا، اِنَّهَا سَاۤءَتْ مُسْتَقَرًّا وَّمُقَامًا، رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا، بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ
Ya Allah singkirkan kita dari siksa neraka jahannam karena
sesungguhnya siksanya sangatlah pedih. Jahannam berjalan pada tempat
ketetapannya. Tuhanku berkanlah kami istri dan keturunan yang menjadi penyejuk
hati dan jadikanlah kami umam bagi orang yang bertakwa.
Sumber: www.nu.or.id/
Komentar0