TUd6GfM5GSYpTSM6BSYoTUYlGd==

Kritik Terhadap Perjodohan di Kalangan Pesantren dalam Novel Hati Suhita

Novel Hati Suhita karya Khilma Anis, yang saat ini tengah diputar di bioskop, mengisahkan perjodohan antara Rayhan Al Birruni atau Gus Birru, anak tunggal Kiai Hannan yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Al Anwar, dengan Alina Suhita, anak Kiai Jabbar, seorang pengasuh pondok pesantren di Jawa Timur.

Namun, perjodohan ini tidak berjalan dengan mulus meskipun keduanya telah menikah. Hubungan mereka menjadi renggang dan dingin. Sepanjang pernikahan mereka, mereka tidur terpisah, bahkan belum pernah menjalin hubungan suami istri secara menyeluruh.

Ada dua faktor utama yang menyebabkan kerenggangan ini terjadi. Pertama adalah perbedaan latar belakang. Gus Birru adalah anak kiai yang berkuliah dan aktif dalam kegiatan di luar pesantren. Ia gemar berorganisasi, mendalami filsafat, dan mengelola penerbitan buku dan kafe.

Di sisi lain, Alina adalah anak kiai yang lebih terisolasi dan menghabiskan masa remajanya sebagai santri pondok salaf yang fokus pada hafalan Al-Qur'an. Sejak kecil, ia telah dipersiapkan untuk menjadi menantu Kiai Hannan. Pernikahan Gus Birru juga terhambat oleh keberadaan masa lalu Gus Birru dengan Ratna Rengganis. Ratna adalah junior Gus Birru dalam organisasi, namun lebih aktif dalam lembaga pers di kampus. Keahlian Ratna dalam menulis mempererat hubungan mereka.


Novel ini menarik karena hadir sebagai kritik terhadap tradisi perjodohan di kalangan pesantren yang dilakukan dengan alasan menjaga keberlanjutan garis keturunan. Biasanya, anak kiai pengasuh pesantren dijodohkan dengan anak kiai lain yang dianggap sejajar dan mampu melanjutkan tradisi pesantren. Novel ini juga secara tidak langsung menggambarkan eksklusivitas pondok pesantren yang hanya menerima penghuni baru dari keluarga pengasuh dari kalangan kiai pesantren.

Kisah Gus Birru dan Ratna Rengganis menjadi korban perjodohan dengan dampak yang paling berat, karena hubungan cinta mereka terpaksa berakhir karena perjodohan Gus Birru dengan Alina Suhita. Ratna sendiri bukan berasal dari latar belakang santri dan merasa putus asa karena tidak dapat diterima oleh keluarga Gus Birru. Alina Suhita juga menjadi korban dalam situasi ini. Ia harus menjalani hari-hari sebagai seorang istri yang dianggap tidak ada oleh suaminya sendiri.

Gus Birru digambarkan sebagai sosok yang tidak menyentuh, bahkan hampir tidak pernah berbicara dengan Alina meskipun mereka tinggal dalam satu kamar selama tujuh bulan lebih. Perilakunya mencerminkan keangkuhan dan keras kepala Gus Birru yang tidak setuju dengan perjodohannya. Namun di balik itu, terdapat idealisme Gus Birru yang bertekad untuk tidak menyentuh Alina sampai ia mencintainya sepenuh hati. Ia ingin memiliki hubungan yang menyeluruh dengan Alina, bukan hanya secara emosional.

Meskipun ia secara terang-terangan menolak perjodohan di depan Alina Suhita, ia berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja di depan ibu dan ayahnya. Ia sangat menghormati ibunya karena selalu mendukung apa pun yang menjadi cita-cita Gus Birru. Namun, ia terlibat dalam konflik dingin dengan ayahnya yang selalu menuntut Gus Birru untuk mengurus Pondok Pesantren Al-Anwar, pesantren besar yang telah diwariskan oleh nenek moyang Gus Birru.

Penulis menggambarkan Alina sebagai "mbak-mbak santri Jawa" yang memiliki pengetahuan luas tentang cerita pewayangan dan penyebaran Islam di Jawa, serta filsafat-filsafatnya. Dalam sudut pandang Alina, cerita ini banyak menghadirkan kiasan tentang perjuangannya dengan kisah pewayangan dan tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa. Selain itu, juga diselipkan pengamalan filosofi-filosofi Jawa dalam menghadapi penderitaan yang berat.

Penulis novel ini dianggap mahir dalam menggambarkan penderitaan Alina dan Ratna Rengganis. Bagian ini disusun dengan baik dan dipilih dengan kata-kata yang tepat sehingga mampu membangkitkan perasaan pembaca. Bagian-bagian ini menjadi elemen penting dalam mempengaruhi emosi pembaca, membangkitkan rasa haru dan kegerahan.

Meskipun tidak ada karakter antagonis yang jelas, membaca curahan hati Alina Suhita dan Ratna Rengganis dapat mempengaruhi perasaan pembaca. Kesedihan Alina Suhita yang menghadapi perlakuan Gus Birru membuat pembaca merasakan perasaan sedih dan kegerahan.

Kisah tragis Ratna Rengganis juga sangat menyayat hati. Hubungannya dengan Gus Birru yang begitu bersemangat harus berakhir karena perjodohan dengan wanita yang dipilih oleh orang tuanya.

Sejak awal novel, pembaca langsung diperkenalkan dengan konflik dalam pernikahan Gus Birru dan Alina Suhita yang masih muda. Gus Birru sangat acuh tak acuh terhadap Alina, bahkan tidak mau menyentuhnya selama lebih dari tujuh bulan. Mereka bahkan tidur terpisah sejak hari pernikahan mereka. Menurut para pengulas, bagian ini sebaiknya ditempatkan di tengah cerita, setelah pembaca mengenal Gus Birru, Alina, dan Rengganis.

Namun, penempatan yang membuat klimaks terjadi di awal dilakukan agar pembaca bisa dengan marah mengutuk Gus Birru, dan kemudian dibukakan klarifikasi tentang Gus Birru yang membuat onar di bab-bab awal novel.

Tokoh Utama Novel Hati Suhita Membosankan

Novel ini agak membosankan karena tokoh-tokoh utamanya digambarkan dengan sangat sempurna. Baik Gus Birru, Alina Suhita, Ratna Rengganis, Kiai, dan Bu Nyai Jabbar digambarkan sebagai sosok-sosok luar biasa. Tiga tokoh utama ini digambarkan dengan kecantikan dan kehebatan dalam bidang masing-masing: Alina Suhita, seorang mbak-mbak santri Jawa yang cantik dan tekun dalam menghafal Al-Qur'an. Ia juga dikisahkan sebagai wanita yang shalehah dan memiliki pengetahuan luas tentang pewayangan, tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa, dan filsafat Jawa.

Ratna Rengganis, seorang mahasiswi cantik yang aktif dalam lembaga pers mahasiswa dan ahli dalam menulis, terutama tentang tokoh-tokoh wanita. Awalnya ia acuh terhadap lawan jenis, tetapi menjadi terpesona saat bertemu dengan aktivis progresif bernama Birru.

Terutama Gus Birru, ia digambarkan sebagai sosok yang tampan dan luar biasa dalam banyak hal. Ia adalah seorang aktivis progresif yang mengembangkan bakat anggota organisasi mahasiswa yang dipimpinnya. Ia juga merupakan pemilik percetakan yang mengajar santri-santri tentang jurnalisme dan mencetak majalah pesantren mereka. Gus Birru juga digambarkan sebagai sosok yang bersemangat dan mengelola kafe yang mendukung literasi dan dakwah agama. Pengulas mengingatkan pada tokoh-tokoh dalam karya-karya Habiburrahman El Syirazi yang memiliki kesamaan. Tokoh-tokoh utama dalam karya-karya Habiburrahman digambarkan sebagai manusia yang sempurna dan tanpa cacat.

Meskipun mengkritik praktik perjodohan yang umum terjadi di lingkungan pesantren, novel ini juga meromantisasinya. Hal ini terlihat dari akhir cerita di mana Gus Birru akhirnya "menyerah" pada keputusan orang tuanya dan menerima Alina Suhita sebagai istrinya.

Hal ini seolah-olah ingin menjelaskan bahwa meskipun ada banyak hambatan yang harus dihadapi dalam perjodohan Gus Birru dan Alina, perjodohan adalah pilihan terbaik yang akhirnya berakhir dengan kebahagiaan. Perjodohan antara anak kiai digambarkan sebagai jalan terbaik dalam menikahkan mereka. Sudah menjadi takdir bahwa anak kiai harus menikah dengan anak kiai lainnya. Mereka yang bukan dari kalangan pesantren tidak pantas bersanding dengan putra-putri kiai.

Novel ini mungkin akan lebih kuat dalam kritiknya jika Gus Birru akhirnya bisa memperjuangkan cinta sejatinya, Ratna Rengganis. Akhir yang demikian juga dapat menentang pandangan eksklusivitas pesantren. Bagaimana dengan Alina? Ia akan lebih cocok bersama Kang Darma yang memiliki latar belakang yang sama. Selain itu, Alina juga diam-diam mencintai dan mengagumi ustadznya di pesantren.

Komentar0

Type above and press Enter to search.